Peserta KKN Melayu Serumpun Kembangkan Potensi Tudung Saji


Mahasiswa KKN Melayu Serumpun bersama salah satu perajin sange. (Dok. Ist)

Lamtui – Tudung saji hias atau dalam bahasa Aceh disebut sange merupakan warisan budaya khas Gampong Lamtui. Gampong Lamtui berada di Mukim Keuluang, Kecamatan Jaya, Kabupaten Aceh Jaya, Provinsi Aceh. 

Gampong adalah pembagian wilayah administratif setingkat kelurahan atau desa di Provinsi Aceh. Dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, Gampong atau nama lain adalah kesatuan masyarakat hukum yang berada di bawah mukim dan dipimpin oleh keuchik atau nama lain yang berhak menyelenggarakan urusan rumah tangga sendiri.

Setelah Jambi dan Sumatera Barat, Aceh Jaya terpilih sebagai salah satu lokasi Kuliah Kerja Nyata (KKN) Melayu Serumpun III UIN Ar-Raniry Banda Aceh sebagai pelaksana. KKN ini diikuti oleh 223 mahasiswa dari 16 PTKIN se-Sumatera dan dilaksanakan selama 40 hari mulai 23 Juni sampai 31 Juli 2022.

KKN Melayu Serumpun merupakan sebuah kegiatan pengabdian masyarakat yang bertujuan untuk mengembangkan potensi suatu daerah baik pariwisata atau budaya. Gampong Lamtui yang berada di Kabupaten Aceh Jaya menjadi salah satu tempat pelaksanaan KKN tersebut.

Di Gampong Lamtui, hampir semua perempuan bisa membuat sange. Sange merupakan penutup makanan yang digunakan untuk kebutuhan adat istiadat seperti dalam upacara adat peusijuk, tueng dara baroe, maulid nabi dan lain sebagainya.

Sange digunakan turun temurun dan dilestarikan oleh masyarakat Gampong Lamtui. Sange bukanlah tudung saji biasa, akan tetapi sangat banyak keistimewaan yang dimiliki oleh produk budaya khas Gampong ini.

Tudung saji hias atau sange. (Dok. Ist)

Siti Zulaiha, salah satu perajin sange mengatakan, sange yang dibuat oleh masyarakat Lamtui telah dipasarkan ke berbagai daerah di Aceh hingga ke luar Aceh. “Alhamdulillah sange sudah dipasarkan ke berbagai daerah di Aceh, luar Aceh, bahkan luar negeri, seperti Australia, Singapura, dan Malaysia,” ujarnya.

Zulaiha melanjutkan, perajin sange bekerja sama dengan pedagang yang membawa dan menjualbelikan sange ke berbagai daerah. Selain tradisi, perajin sange biasanya akan memulai produksi ketika ada pesanan dari konsumen.

Motif yang digunakan dalam proses pembuatan sange diantaranya yaitu motif pintoe Aceh, bungong jeumpa, bungong selanga, bungong kupula, on murong, on ranup, pucok on dan motif lainnya yang dikreasikan perajin. Menghias sange menggunakan hiasan berbentuk pasir, bulat, bunga, daun, bintang dan renda kasap.

Adapun bentuk teknik yang digunakan dalam menghias sange yaitu teknik sulam tangan dan teknik melekatkan benang. Proses menghias sange terdiri dari beberapa tahap yaitu pembuatan pola, menjiplak pola, menggambarkan motif  langsung pada sange, pemasangan payet sesuai dengan motif, dan pemasangan renda pada pinggiran sange.

Sange terbuat dari kain beludru pada bagian luar dan kain asiantex pada bagian dalam. Bentuk yang digunakan adalah bentuk phap dan bentuk Tungguk.

Kemudian dari setiap bentuk sunge phep dan sange ungguk memiliki turunan sange Aceh yakniphep raveuk, phep dara dan phep pingan. Sedangkan untuk harga satu buah tudung saji hias atau sange berkisar 50 sampai 250 ribu.

Sementara itu, Rahmad Muhayat Syah, mahasiswa UIN Ar-Raniry Banda Aceh yang diamanahkan menjadi Ketua Kelompok KKN Melayu Serumpun menyampaikan bahwa program utama KKN yang dijalankan adalah pengembangan UMKM tudung saji atau sange.

“Program utama yang akan dilakukan dan sesuai dengan tema yang telah ditentukan oleh pihak panitia LPPM, yakni Pengembangan Pariwisata Halal dan Budaya Melayu Serumpun, jadi kami mengambil pada bagian pengembangan UMKM tudung saji (sange) yang mana itu adalah produk khas dari Desa Lamtui,” ujar Rahmad.

Dia menambahkan, seluruh anggota KKN Kelompok Gampong Lamtui berharap kerajinan tudung saji ini dapat dipasarkan secara luas ke luar daerah Aceh. “Agar masyarakat di Lamtui terutama generasi muda, selaku penerus dan pengembang produk tudung saji hias atau sange mengetahui dan bangga dengan keberadaan kerajinan khas desanya tersebut” sambung Rahmad.

Masyarakat Gampong Lamtui juga kental dengan syari’at Islam dan sangat menjaga adat serta tradisi dalam bermasyarakat. Pada setiap pekannya, di Meunasah dilaksanakan kajian agama diantaranya taklim kitab Fiqih, majelis taklim ibu-ibu, dan juga kajian keislaman lainnya yang rutin dilaksanakan. Faktor inilah yang menjadikan Gampong Lamtui terjaga masyarakatnya dengan nilai-nilai keislaman.

Penduduk Gampong Lamtui terdiri dari 120 Kepala Keluarga (KK) yang mayoritas masyarakatnya bekerja sebagai petani dan peternak. Lamtui termasuk bagian Dusun Ulee Goh yang letaknya cukup strategis karena berada di jalur lintas Calang-Banda Aceh.

Selain itu, Lamtui dikelilingi oleh bukit-bukit yang menambah keindahannya. Lamtui juga sangat dekat dengan laut Samudera Hindia.

Pada saat  tsunami Aceh tahun 2004  silam, Gampong Lamtui terkena dampak terparah. Seluruh bangunan kecuali Meunasah, hancur akibat goncangan gempa dan terjangan tsunami.

Mahasiswa KKN saat mencoba membuat anyaman sange. (Dok. Ist)

Adapun mahasiswa KKN yang ditempatkan di Gampong Lamtui yakni Rahmad Muhayat Syah, Naqiatul Misqa, Farah Diana Rohim, Alvioni Maulida Putri (UIN Ar-Raniry Banda Aceh); M. Rosyid Rabbani (UIN Fatmawati Soekarno Bengkulu); Ginta Dwiki Meliana (IAIN Metro Lampung); Silvi Rahmadani (UIN Raden Intan Lampung); Muhammad Hanif (IAIN Lhokseumawe); Bunayyati Hakimah (UIN Sumatera Utara ); Togar (UIN Raden Fatah Palembang); Dewi Suta Ningsih (UIN Jambi); dan Wahyu Firdaus (IAIN Syaikh Abdurrahman Siddik Bangka Belitung).*

Penulis: Silvi Rahmadani
Editor: Novrizal Fahmi